Dasar
Epistemologis Aqiqah
Yang kami hormati sesepuh, asatidz, bapak-bapak, ibu-ibu
tamu undangan yang mudah mudahan dimulyakan oleh Allah. Terkhusus kepada
sahibul bait yang dimulyakan oleh Allah. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat
dan ‘inayahnya kepada kita semua amin ya rabbal alamin.
Alhamdulillah patut kita panjatkan kepada Allah, shalawat serta salam tetap tercurah kepada rasulullah saw.
Dalam keragaman ibadah yang telah digariskan agama, ada beberapa cara untuk mengungkapkan rasa syukur secara syar’i. Diantaranya adalah dengan cara menggelar tasyakuran, bersedekah atas nikmat yang kita dapat, menyantuni fakir dan miskin, bertasbih dan lain lain. Spesial pada tema ini adalah tentang kaitan syukur dengna Aqiqah. Aqiqah adalah salah satu bentuk perwujudan rasa syukur kepada Allah atas kelahiran keturunan yang kita dapat, dengan tujuan keturunan tersebut dapat membawa amanah dan perjuangan orang tuanya.
Aqiqah secara gampang dimengerti adalah menyembelih hewan pada hari ke-7 dari kelahiran seorang anak, kami tidak menemukan bahwa syariat ini tertuang di dalam al Qur'an, akan tetapi banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini. Hadits tersebut berbunyi :
Alhamdulillah patut kita panjatkan kepada Allah, shalawat serta salam tetap tercurah kepada rasulullah saw.
Dalam keragaman ibadah yang telah digariskan agama, ada beberapa cara untuk mengungkapkan rasa syukur secara syar’i. Diantaranya adalah dengan cara menggelar tasyakuran, bersedekah atas nikmat yang kita dapat, menyantuni fakir dan miskin, bertasbih dan lain lain. Spesial pada tema ini adalah tentang kaitan syukur dengna Aqiqah. Aqiqah adalah salah satu bentuk perwujudan rasa syukur kepada Allah atas kelahiran keturunan yang kita dapat, dengan tujuan keturunan tersebut dapat membawa amanah dan perjuangan orang tuanya.
Aqiqah secara gampang dimengerti adalah menyembelih hewan pada hari ke-7 dari kelahiran seorang anak, kami tidak menemukan bahwa syariat ini tertuang di dalam al Qur'an, akan tetapi banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini. Hadits tersebut berbunyi :
قوله صلى الله عليه وسلم : (كل غلام مرتهن
بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى) أخرجه الإمام أحمد
Tidak hanya terdapat didalam musnad Ahmad tetapi terdapat juga di Sunan At Tirmidzi 1442, Imam An Nasa’i 4149, Abu Daud 2454, 2455 Imam Ibn Majjah 3156 Ad Darimiy 1887.
Hadits diatas tersebut berderajat marfu’ dilihat dari sisi sambung tidaknya sanad, artinya dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Para ulama’ sepakat bahwa hukumnya adalah sunnah mu’akkad dah hanya sekelompok kecil yang mewajibkannya. Ada tiga hal dalam hadits tersebut yaitu :
1. Memotong kambing pada hari ke-7 dari kelahiran anak
2. Mencukur rambut
3. Memberi nama
Meski terkadang pada kenyataannya banyak orang yang melakukan secara terbalik yaitu denga memberi nama terlebih dahulu, kemudian bayai berumur 3 bulan dicukur rambutnya dan aqiqah se-sempatnya. Namun yang terpenting dari semua ajaran itu adalah inti bersyukurnya kepada Allah yang telah memberikan karunia berharga berupa nyawa dan masa depannya dititipkan kepada didikan orang tuanya.
Makna hadis tersebut menurut Imam Ahmad bin Hanbal ra adalah “Bayi itu tertahan syafa’at kepada kedua orang tuanya.” Artinya jika bayi itu kelak menjadi anak yg saleh ia di akhirat kelak tidak bisa memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya sebelum diaqiqahkan atau jika bayi itu meninggal sebelum diaqiqahi ia di akhirat kelak tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya.
Jika tidak mampu memotong di hari ke-7 disunnahkan di hari ke-14 atau 21, namun jika masih tidak mampu, agama memberi keleluasan ‘semampunya’. Hal ini membuktikan betapa pentingnya tuntutan Allah untuk bersyukur kepada-Nya atas nikmat yang telah diberikan kepada kita semua. Namun perlu diingat bahwa Allah tidak butuh dengan syukur kita, karena itu pada prinsipnya bersyukur kepada Allah adalah manfaat baik untuk diri hamba yang bersyukur tersebut, sesuai dengan firmannya :
إِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌوَلَقَدْ
ءَاتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ
فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَ
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (QS. Luqamn[13]:12)
Disyariatkan untuk siapa?
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ dalam kaitannya dengan bolehkah seseorang aqiqah atas dirinya sendiri, karena di masa lampau orang tuanya tidak meng-aqiqahi-nya.
Pertama, pendapat beberapa tabi’in, seperti : ‘Atha`, Al-Hasan Al-Bashri, dan Ibnu Sirin, juga pendapat Imam Syafi’i, Imam Al-Qaffal asy-Syasyi (mazhab Syafi’i). mereka berpendapat sunnah mengaqiqahi dirinya sendiri berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. bahwa Nabi saw mengaqiqahi dirinya sendiri setelah nubuwwah (diangkat sebagai nabi). lihat As-Sunan Al-Kubra, 9/300; Mushannaf Abdur Razaq, no 7960; Al-Mu’jam al-Ausath no 1006; Musykil Al-Atsar no 883.
Kedua, Malikiyah dari Imam Ahmad, menyatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, tidak disunnahkan mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Alasannya aqiqah itu disyariatkan bagi ayah, bukan bagi anak. Menurut hemat kami masih lebih baik melakukan qurban dari pada aqiqah untuk dirinya sendiri. Lalu bagaimana dengan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra sebagaimana telah di pakai dasar pijakan pada pendapat yang pertama tersebut.
Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. Di atas yang menjelaskan Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri dinilai dhaif. Lihat Hisamuddin ‘Afanah, Ahkamul Aqiqah, hlm. 59; Al-Mufashshal fi Ahkam al-Aqiqah, hlm.137; Maryam Ibrahim Hindi, Al-’Aqiqah fi Al-Fiqh Al-Islami, hlm. 101; M. Adib Kalkul, Ahkam al-Udhiyyah wa Al-’Aqiqah wa At-Tadzkiyyah, hlm. 44.
Diantara ulama’ yang melemahkan hadits diatas adalah
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Fathul Bari, 12/12,
Imam Ibnu Abdil Barr Al-Istidzkar, 15/376,
Imam Dzahabi Mizan Al-I’tidal, 2/500,
Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah Tuhfatul Wadud, hlm. 88,
Imam Nawawi (Al-Majmu’, 8/432). Imam Nawawi berkata,”Hadis ini hadis batil,”
karena menurut beliau di antara periwayat hadisnya terdapat Abdullah bin Muharrir yang disepakati kelemahannya. (Al-Majmu’, 8/432).
Namun, Nashiruddin Al-Albani telah meneliti ulang hadis tersebut dan menilainya sebagai hadis sahih. (As-Silsilah al-Shahihah, no 2726). Menurut Al-Albani, hadis Anas RA ternyata mempunyai dua isnad (jalur periwayatan).
Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata:
[ إذا لم يعق عنك فعق عن نفسك وإن كنت
رجلاً ].
“Jika belum diaqiqahi atasmu, maka aqiqahkanlah
atas dirimu, meskipun kamuseorang lelaki dewasa.” Lihat Kitab Al Muhalla, 2/204
dan Syarh As Sunnah, 11/264.
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:
[ عققت عن نفسي ببختية بعد أن كنت
رجلاً ].
“Aku mengaqiqahkan atas diriku dengan seekor onta
betina setelah aku dewasa.” Lihat kitab Syarah As Sunnah, 11/264.
ونقل عن الإمام أحمد أنه استحسن إن لم يعق عن
الإنسان صغيراً أن يعق عن نفسه كبيراً وقال :[ إن فعله إنسان لم أكرهه ]
Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia lebih
baik jika belum diaqiqahi seseorang dimasa kecilnya maka ia mengaqiqahkan atas
dirinya ketika dirinya sudah besar, beliau juga berkata: “Jika dilakukan oleh
seseorang maka aku tidak membencinya.” Lihat kitab Tuhfat Al Mawdud Bi Ahkam Al
Mawlud, (hal. 69 Asy Syamela).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
وَإِنْ لَمْ يَعُقَّ أَصْلًا ، فَبَلَغَ
الْغُلَامُ ، وَكَسَبَ ، فَلَا عَقِيقَةَ عَلَيْهِ . وَسُئِلَ أَحْمَدُ عَنْ
هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ ، فَقَالَ : ذَلِكَ عَلَى الْوَالِدِ . يَعْنِي لَا يَعُقُّ
عَنْ نَفْسِهِ ؛ لِأَنَّ السُّنَّةَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ . وَقَالَ عَطَاءٌ ،
وَالْحَسَنُ : يَعُقُّ عَنْ نَفْسِهِ ؛ لِأَنَّهَا مَشْرُوعَةٌ عَنْهُ وَلِأَنَّهُ
مُرْتَهَنٌ بِهَا ، فَيَنْبَغِي أَنْ يُشْرَعَ لَهُ فِكَاكُ نَفْسِهِ . وَلَنَا ،
أَنَّهَا مَشْرُوعَةٌ فِي حَقِّ الْوَالِدِ ، فَلَا يَفْعَلُهَا غَيْرُهُ ،
كَالْأَجْنَبِيِّ ، وَكَصَدَقَةِ الْفِطْرِ .
“Dan jika belum diaqiqahi sama sekali lalu sang
anak mencapai baligh dan berpenghasilan, maka tidak ada kewajiban aqiqah
atasnya. Imam Ahmad ditanya tentang permasalahan ini, beliau berkata: “(Aqiqah)
itu kewajiban orangtua, maksudnya adalah ia tidak (boleh) mengaqiqahi atas
dirinya, karena menurut sunnah (mewajibkan) dalam hak selainnya.” Berkata
Atha’, Al Hasan: “Ia (boleh) mengaqiqahi atas dirinya, karena aqiqah ini disyariatkan
atasnya dank arena ia tergadaikan dengannya, maka semestinya ia menyegerakan
pembebasan dirinya, dan menurut kami, bahwa aqiqah adalah disayriatkan pada
kewajiban irangtua maka tidak boleh mengerjakannya selainnya, seperti orang
lain dan seperti sedekah fitr.” Lihat Al Mughnni, (22/7 Asy Syamela).
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata:
" الفصل التاسع عشر : حكم من لم يعق عنه
أبواه هل يعق عن نفسه إذا بلغ ، قال الخلال : باب ما يستحب لمن لم يعق عنه صغيرا
أن يعق عن نفسه كبيرا ، ثم ذكر من مسائل إسماعيل بن سعيد الشالنجي قال : سألت أحمد
عن الرجل يخبره والده أنه لم يعق عنه ، هل يعق عن نفسه ؟ قال : ذلك على الأب .
“Pasal ke 19: Hukum siapa yang belum diaqiqahi
atasnya kedua orantunya, apakah ia mengaqiqahi dirinya jika sudah baligh,
berkata Al Khallal: “Bab Anjuran bagi siapa yang belum diaqiqahi atasnya semasa
kecil, maka ia boleh mengaqiqahi atas dirinya sendiriketika dewasa.
Kemudian ia menyebutkan pertanyan-pertanyaan Isma’il bin Sa’id Asy Syalinji, ia
berkata: “Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang
orangtuanya memberitahukkannya kepadanya bahwa ia belum diaqiqahi, apakah boleh
untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri? Beliau menjawab: “(Aqiqah) itu kewajiban
bapak. Lihat kitab Tuhfat Al Mawdud Bi Ahkam Al Mawlud, (hal. 80 Asy Syamela).
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:
" والقول الأول أظهر ، وهو أنه يستحب أن
يعق عن نفسه ؛ لأن العقيقة سنة مؤكدة ، وقد تركها والده فشرع له أن يقوم بها إذا
استطاع ؛ ذلك لعموم الأحاديث ومنها : قوله صلى الله عليه وسلم : (كل غلام مرتهن
بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى) أخرجه الإمام أحمد ، وأصحاب السنن عن
سمرة بن جندب رضي الله عنه بإسناد صحيح ، ومنها : حديث أم كرز الكعبية عن النبي
صلى الله عليه وسلم: أنه أمر أن يُعق عن الغلام بشاتين وعن الأنثى شاة أخرجه
الخمسة ، وخرج الترمذي وصحح مثله عن عائشة , وهذا لم يوجه إلى الأب فيعم الولد
والأم وغيرهما من أقارب المولود " انتهى من "مجموع فتاوى الشيخ ابن
باز" (26/266) .
“Dan pendapat yang pertama lebih jelas, yaitu
dianjurkan ia mengaqiqahi dirinya, karena aqiqah adalah sunnah muakkadah dan
orangtuanya telah meninggalkannya, maka disyariatkan kepadanya agar melakukan
jika ia mampu, yang demikian itu berdasarkan keumuman beberapa hadits,
diantaranya; Sabda RAsululah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Setiap anak
tergadaokan dengan aqiqahnya, disembelih atasnya (hewan aqiqahnya) pada hari ke
tujuhnya, dgunduli kepalanya dan memberikan nama.” HR. Ahmad dan para penulis
kitab Sunan, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang
shahih. Dan termasuk diantaranya; hadits Ummu Al Kurz Al Ka’biyyah bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ beliau memerintahkan anak
lelaki agar diaqiqahi dengan dua ekor kambing dan anak perempuan agar diaqiqahi
dengan satu ekor kambing.” HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menshahihkan riwayat
yang semisal yaitu dari riwayat Aisyah dan hadits ini tidak ditujukan kepada
siapa-siapa, maka berarti mencakup anak, ibu dan selain keduanya dari para
kearabat anak yang terlahir tersebut.” Lihat kitab Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu
Baz, (26/266).
Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin
rahimahullah berkata:
وذهب بعضهم إلى أن الطفل إذا بلغ سن الرشد
سقطت في حقه، ويرى بعض العلماء أنه يعق عن نفسه، ولم يثبت في ذلك دليل صحيح
“Sebagian ulama berpendapat bahwa anak jika sudah
mencapai umur rusyd (dewasa) maka gugur (aqiqah) pada haknya dan sebagian ulama
nerpendapat bahwa ia mengaqiqahi dirinya sendiri dan belum tetap dalam hal itu
satu dalil shahihpun.” Lihat di http://ar.islamway.net/fatwa/29698
Syeikh Al Fauzan hafizhahullah berkata:
وإذا لم يفعلها الوالد فقد ترك سنة، وإذا لم
يعق عنه والده وعق عن نفسه فلا بأس بذلك فيما أرى، والله أعلم .
“…Jika orangtua mengerjakannya (aqiqah) maka
sungguh ia telah meninggalkan sunnah dan jika orangtuanya belum mengaqiqahinya
kemudian ia mengaqiqahi dirinya sendiri, maka hal itu tidak mengapa,
sepenglihatan saya, wallahu a’lam.” Lihat kitab Al Muntaqa min Fatawa Al
Fawzan, (5/84 Asy Syameal).
Syeikh Al Fawzan hafizhahullah berkata:
الأفضل يوم سابعه، هذا هو الأفضل المنصوص
عليه، فإن تأخرت عن ذلك فلا بأس بذلك ولا حد لآخر وقتها إلا أن بعض أهل العلم يقول
: إذا كبر المولود يفوت وقتها، فلا يرى العقيقة عن الكبير، والجمهور على أنه لا
مانع من ذلك حتى ولو كبر
“Yang utama (aqiqah) dilakukan pada hari ke
tujuhnya, ini adalah paling utama yang telah ditegaskan atasnya, maka jika
terlambat dari itu tidak mengapa, dan tidak ada batasan untuk akhir waktunya
kecuali sebagian para ulama berkata: Jika anak yang lahir sudah besar maka
waktu aqiqahnya sudah lewat, maka tidak dianjurkan untuk melakukan aqiqah atas
seorang yang sudah besar. Dan (sedangkan) mayoritas ulama berpendapat bahwa
tidak ada larangan untuk itu meskipun sudah besar.” Lihat kitab Al Muntaqa min
Fatawa Al Fawzan, (4/84 Asy Syamela).
Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan, maka tidak
mengapa ia mengaqiqahi dirinya sendiri ketika sudah besar, jika ia belum
diaqiqahi pada masa kecil. Wallahu a’lam
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin]
Materinya bagus dan mudah dipahami pak,keren
Posting Komentar